Teori tentang indeks integritas ini
masih diperdebatkan. Masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan
tergantung dari cara menghitung indeks dan variabel yang
diperbandingkan. Teori awal yang dikembangkan Bird (1930), misalnya,
kiranya sudah tidak cocok lagi dipakai karena hanya mendasarkan diri
pada perbandingan distribusi jawaban salah antara peserta yang mencontek
(copier) dan yang dicontek (source) untuk menentukan indeks integritas.
Teori yang dikembangan Crawford,
Dickenson, dan Anikeef masih berada di jalur yang sama, yaitu
menggunakan variabel jawaban salah. Teori ini kemudian dikembangkan
dengan memasukkan variabel lain, seperti distribusi jawaban benar, baik
melalui analisis persamaan jawaban benar atau salah secara secara
berurutan (string) (Hanson et al dan Angoff, 1974) dan acak (random).
Integritas tes
Berbagai macam teori indeks integritas,
terutama yang klasik, tidak dapat diterapkan dalam konteks UN di
Indonesia, karena UN di Indonesia bukan hanya ada satu varian soal,
melainkan ada 20 varian soal. Teori sumber-pelaku sudah lama
ditinggalkan karena tidak memiliki kekuatan memprediksi tingkat
kejujuran.
Indeks integritas yang menggunakan multivariabel sering diacu untuk mengatasi kelemahan indeks integrasi sebelumnya (Angoff, 1974; Frary dan Tideman, 1997).
Angoff (1974), misalnya, menggunakan indeks multivariabel untuk
menentukan level integritas. Namun, penggunaan multivariabel ini pun
masih banyak diperdebatkan para ahli psikometrik terkait sisi
praktikalitas dan efektivitasnya. Bagi publik, terutama kalangan
akademisi, tentu saja dasar pilihan teori yang dipakai Kemdikbud untuk
menentukan indeks integritas sekolah perlu dipublikasi, atau paling
tidak disosialisasikan, sehingga kalangan akademisi bisa meneliti dan
menilai apakah analisis dan alat ukur yang dipakai oleh Kemdikbud dapat
dipertanggungjawabkan.
Indeks integritas tes (IIT) kiranya
lebih tepat dipakai sebagai ungkapan ketimbang IIS, karena seluruh
diskursus tentang teori indeks integritas hanya mengukur indeks
kejujuran sebuah tes (UN) dan tidak dapat dipakai untuk menyimpulkan
perilaku jujur sebuah sekolah secara umum. Fungsi indeks integritas
selalu terbatas. Karena itu, adalah keliru menggeneralisasi hasil indeks
integritas tes untuk menilai kualitas kejujuran sebuah sekolah.
Rahasia?
Sistem pelaporan skor IIS dalam UN 2015
pun dipertanyakan. Nilai IIS tidak akan dipublikasi kepada masyarakat,
tetapi hanya menjadi informasi yang diberikan pada sekolah dan perguruan
tinggi. Pembatasan pemberian informasi publik ini membuat kita
bertanya, apakah IIS merupakan rahasia negara, seperti soal UN yang
bukan konsumsi publik? IIS dipakai untuk memberi tahu sekolah tentang
skor nilai kejujuran sehingga sekolah dapat mengevaluasi diri dalam
menanamkan nilai kejujuran ini. Kiranya informasi yang sama juga
dibutuhkan orangtua dan masyarakat di mana mereka menyekolahkan
anak-anaknya.
Bila secara teoretis IIS sesungguhnya
tidak mengukur kualitas kejujuran sekolah, atau kejujuran seluruh
anggota sekolah, melainkan hanya menilai sejauh mana dalam UN siswa satu
dan yang lainnya saling mencontek melalui perbandingan data statistik
jawaban benar dan salah dengan menggunakan kerangka teori tertentu, di
mana kerangka teori ini pun masih diperdebatkan di kalangan para ahli
psikometrik, kiranya terlalu berlebihan menganggap hasil evaluasi IIS
sebagai rahasia negara.
Publik memiliki hak memperoleh informasi
tentang kerangka teoretis, tujuan dan hasil dari sebuah proses evaluasi
pendidikan yang diadakan oleh negara yang memengaruhi para pemangku
kepentingan pendidikan, terutama orangtua.
Menilai kejujuran sekolah tidak dapat
dilakukan melalui analisis statistik jawaban benar dan salah dalam
sebuah ujian di mana kerangka teori yang menjadi landasannya masih
banyak diperdebatkan di kalangan ahli psikometrik sendiri. Kejujuran
merupakan sikap hidup yangperlu dilatih dan dibiasakan, didukung dengan
lingkungan budaya, struktur, dan peraturan yang mendukung bertumbuhnya
nilai penghargaan terhadap kebenaran. Sikap ini tidak dapat dinilai
melalui indeks integritas sekolah yang sifatnya terbatas.
Kejujuran sebuah sekolah hanya bisa
dinilai dari sejauh mana anggota-anggota sekolah itu melaksanakan
nilai-nilai kejujuran semenjak mereka datang memasuki pintu gerbang
sekolah sampai pulang, melalui contoh, teladan, pemberian ruang bagi
praksis kejujuran yang didukung oleh aturan-aturan sekolah yang
konsisten diterapkan, seperti menghilangkan budaya dan aturan katrol
nilai, membuat peraturan dan sanksi tegas tentang perilaku mencontek,
menghapuskan peraturan tentang kriteria ketuntasan minimal yang sering
menjadi sumber ketidakjujuran guru dalam menilai siswa, transparansi,
dan akuntabilitas pengelolaan keuangan sekolah.
Hal-hal ini kiranya lebih mendesak
diperjuangkan dan diterapkan dalam lembaga pendidikan kita ketimbang
memperkenalkan istilah baru kerangka teorinya masih diperdebatkan;
tujuan, konsep dan metodenya dipertanyakan; dan sistem pelaporannya
tertutup dan menafikan kontrol publik. IIS bukan hal fundamental yang
dibutuhkan bangsa ini.
sumber : klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar